

(Tulisan ini dibuat berdasarkan observasi dan pengalaman pribadi)
Berjiwa sosial itu memang tidak mudah. Tidak bisa dipesan, tidak bisa diciptakan dan pastinya tidak bisa ditiru. Kenapa? Karena berjiwa sosial itu erat kaitannya dengan si manusia itu sendiri. Kepedulian dan rasa empati yang tinggi lah yang mampu menjadikan seseorang memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Kuliah di The London School of Public Relations membuat kami di cap sebagai mahasiswa dan mahasiswi yang ga mau hidup susah, ga bisa kotor-kotoran dan parahnya dibilang sekolah para kaum borjuis yang ga mau berbaur.
Awalnya sempat merasa ribet juga di cap seperti itu. Tapi dengan adanya blog ini diharapkan bisa merubah persepsi itu menjadi persepsi yang lebih baik. Kita ga berharap muluk-muluk. Kita hanya ingin kalian tahu bahwa
Missilian is still Missilian! We care, we believe it and we do it!
Pasti banyak dari kita yang bertanya-tanya pengorbanan seperti apa yang Missilian lakukan? Sejujurnya, setiap hari, kami tak pernah letih mencari seperak rupiah demi membantu masa depan para anak jalanan. Hari Senin hingga Kamis, kami selalu berjualan makanan di kampus dan menjajakannya dari kelas yang satu dan kelas yang lain dan dari kampus yang satu ke kampus yang lain juga. Berjualan pakaian dari lokasi satu ke lokasi yang lain. Tak mengenal pagi, siang bahkan malam. Tak jarang pula diantara kami baru tidur pagi-pagi buta.
Kurang tidur, kurang istirahat dan banyak diantara kami yang sudah positif mengidap SAKIT. Macam-macam jenisnya dari mulai yang ringan seperti flu, migrain hingga tipus (itu saya! Haha) tapi SUNGGUH ini bukan penghalang. Ini TEKAD kami untuk membantu. Sebuah kegiatan sosial untuk membuat kehidupan anak-anak jalanan lebih baik, bermakna dan berarti.
Tanggal 18 April lalu, Missilian beraksi. Memutari daerah Kelapa Gading, berjalan kaki berkilometer, pergi dari rumah makan satu ke yang lainnya. Dari pukul 6 sore hingga setengah 1 pagi. Ada yang bisa tebak, apa yang kami lakukan? YA! Kami menjadi pengamen dadakan. Lokasi yang terpilih adalah Kelapa Gading.
Dibagi menjadi dua kelompok dengan dresscode putih, para Missilian mulai menyanyi dan menyanyi. Hanya bermodalkan suara Fals, Gitar seadanya dan naskah berupa kertas untuk beberapa lagu yang tidak terlalu dihafal dengan baik.
Sempat merasa tersaingi ketika ada rombongan dari kampus lain yang ikut ngamen juga. Tersaingi bkn krn apa-apa tapi karena mereka jauh lebih bagus. Jadi rombongan kampus itu, menyanyi dengan bagusnya selayaknya finalis Indonesian Idol dan serupa paduan suara (ada suara 1 dan 2). Tidak menggunakan alat musik apapun, hanya menggunakan ketrampilan bibir yang bisa menyerupai alat musik (cuap..cuap..pap..para..para..).
Missilian pun terus bernyanyi dengan penuh percaya diri (walaupun Fals, tapi sutralah). Selesai bernyanyi, menerima uang dari pengunjung, kami langsung bergegas pergi dari tempat itu dengan wajah menunduk dan tersenyum kecil tak habis pikir betapa kacaunya suara kami. Pindah ketempat lain dan bernyanyi lagi. Syukurnya rombongan bagus itu sudah tak ada lagi disekitar kami (ga kebayang jadi apa kl mereka masih disitu?!?)
Ada kejadian unik terjadi, ini terjadi ketika kami mau menyeberang jalan menuju sebuah warung makan berikutnya. Ketika hendak menyeberang tiba-tiba ada seorang pengendara motor (sebut saja namanya Bapak Bunga) yang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Padahal si Bapak Bunga sudah melihat kami dari jauh. Namun ia menghiraukan keselamatan kami begitu saja. Spontan, Wibowo (Missilian yang paling besar porsinya..piss!) marah dan meneriaki si Bapak Bunga.
“woiiii” celetuk wibowo
Tiba-tiba ada suara motor yang mengahampiri kita (ternyata itu si Bapak Bunga)
Kita semua sedikit pucat. Kenapa? Karena Bapak Bunga berbadan besar, serupa preman (wuihh, pokonya kita –kita mah bakalan babak belur kena bolgem si Bapak Bunga).
Bapak Bunga tidak diam begitu saja melainkan menghampiri kami dan berkata,”kenapa lo tadi teriak-teriak? Santai aja donk”
“Tapi mikir ga, kl sampe ada yang ketabrak gimana?” tegas wibowo
Indriani (Missilian juga nih) berusaha melerai wibowo untuk jangan bertengkar. Namun saat Indri melerai keduanya, si Bapak Bunga tak juga berhenti bicara. Terus menerus mengatakan hal yang kurang penting dan kasar. Spontan, Indri yang saat itu melerai wibowo berubah menjadi Indri yang tiba-tiba sepanas kompor.
“Bapak kalo ngomong jangan kurang ajar yah”, ujar indri dengan kesal dan emosi
Ini klimaks lucunya, awalnya Indri yang melerai wibowo tapi seketika posisi Indri digantikan oleh wibowo. YA! Kini Bowo yang melerai Indri. Pertengkaran pun tak terjadi dan memutuskan untuk kembali mencari rupiah ditengah ramainya kota malam itu.
Itulah sepenggal suka duka yang kami alami demi membantu sesama. Mungkin ada diantara pembaca yang tidak terlalu menganggap kisah ini. Namun, SEJUJURNYA tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman dan semangat yang nyata.
Takkan ada satupun yang mampu menghentikan semangat kami untuk membantu mereka. Kalau kami rela berkorban bagaimana dengan kamu???
Maurine Mawardi